DIARY RAMADHAN DAY 1: ANGER MANAGEMENTKU BURUK!

Hari pertama puasa, aku kecolongan! Tetiba jengkel, marah dan kesal; kepada istri, juga putriku. Penyebabnya sepele. Aku merasa jengkel karena ternyata istriku mengajak ke Maros buat buka puasa dan sekalian nginap di rumah ibuku tanpa memberikan penyampaian yang clear (menurutku). Istriku ngambek ketika aku kurang paham maksudnya dan kamipun urung ke kampung halaman. Aku marah; kenapa ia tidak menjelaskan secara lebih detail mau ngapain ke Maros? Aku rupanya yang salah tangkap; kupikir ia bertanya ke aku apakah akan ke Maros Sabtu malam ini, karena memang setiap akhir pekan istri dan anak-anakku ke rumah ayah mertua berkumpul dengan saudara-saudaranya dan aku memilih ke Maros. Ternyata kali ini, istriku mengajak untuk bareng ke sana, duuuh!.

Kemarahanku yang kedua sungguh di luar nurul. Aku membentak putriku hanya karena ia bergerak lambat menjalankan permintaanku agar ia segera membersihkan tangga dari rembesan air dari tembok yang jamak terjadi setiap seusai hujan. Putriku tampak kecewa karena aku ngegass padanya. Seketika, air mukanya berubah sedih. Di saat itulah aku baru sadar betapa aku belum jadi ayah yang baik, bukan role model yang patut dicontoh. Putriku kini telah berusia 20 tahun tetapi masih kumarahi seperti laiknya anak-anak. Aku menyesal, sungguh menyesal. Tak semestinya kedua momen amarah itu terjadi! Ini puasa hari pertama padahal, hik hik.

Pasca insiden marah-marah itu, aku jadi teringat pada satu frase dalam bahasa Inggris; Anger Management. Ya, anger managementku sungguh lemah!

Yuuk kita bahas sedikit tentang Anger Management. Jika diartikan dalam satu kalimat, Anger Management itu ibarat seni menaklukkan badai dalam hati. Setiap orang pasti pernah marah—entah karena kecewa, tersakiti, atau merasa tidak dihargai. Tapi, bayangkan jika kemarahan itu seperti api. Jika dibiarkan liar, ia bisa membakar segalanya, termasuk hubungan, kebahagiaan, dan impian. Namun, jika dikelola dengan baik, api itu bisa menjadi cahaya yang menghangatkan dan memberi energi yang meneduhkan.

Menurut para pakar di bidang ini, mengelola amarah bukan berarti menahannya hingga meledak suatu hari nanti. Anger management adalah tentang memahami, merasakan, dan menyalurkan kemarahan dengan cara yang lebih lembut, lebih bijak, dan lebih indah. Seperti ombak yang tidak bisa dihentikan, tapi bisa diarahkan. Seperti hujan deras yang bisa membawa bencana, tapi juga bisa menyuburkan tanah. Seperti angin yang lajunya tak dapat dibendung, tetapi dapat meniup layar perahu agar bergerak sesuai tujuan. Sesungguhnya, dalam urusan cinta dan kehidupan, mengelola amarah adalah bentuk kematangan jiwa, wujud kedewasaan sesungguhnya. Ini bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjaga hati agar tetap damai, agar bisa terus mencintai dan dicintai tanpa harus melukai, tak perlu menyakiti siapapun. 

Aku mencoba mengaitkan antara bulan suci Ramadhan dengan Anger Management. Bulan puasa adalah waktu di mana kita belajar bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari sengatan amarah dan emosi tidak penting yang tak terkendali. Orang yang berpuasa seyogyanya tidak hanya mampu mengendalikan apa yang masuk ke dalam tubuh, tetapi juga mengontrol apa yang keluar dari hati dan lisannya. Dalam Islam, kemarahan yang tak terkendali dapat merusak hubungan dan mendatangkan penyesalan. Itulah mengapa dalam bulan suci ini, kita diajarkan untuk mengelola amarah dengan sabar dan penuh kesadaran. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda: Jika seseorang mencelamu atau mengajakmu bertengkar saat sedang berpuasa, katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa’” (HR. Bukhari & Muslim).

Puasa sejatinya adalah latihan anger management terbaik. Saat perut kosong dan energi menurun, emosi memang kadangkala lebih mudah meledak. Tapi justru di situlah tantangannya: mengubah kemarahan menjadi kesabaran, kebencian menjadi ketulusan, dan ego menjadi keikhlasan. Ramadhan mengajarkan bahwa mengelola emosi adalah bagian dari ibadah. Menahan amarah bukan berarti lemah, tetapi menunjukkan kekuatan sejati. Sebab, seperti sabda Rasulullah ﷺ: Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari & Muslim).

Jadi, dalam bulan Ramadhan ini, mari kita jadikan puasa bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menenangkan hati. Sebab, orang yang mampu mengendalikan amarahnya adalah orang yang menang—bukan hanya di dunia, tetapi juga di sisi Allah. 

Penulis: Abdul Hakim, S.Pd., M.A, Ketua Senat Kalla Institute

sumber blog: https://sites.google.com/kallabs.ac.id/dengngalle-institute/jelang-magrib?authuser=0