Kalla Institute

POLEMIK KREDIT SOSIAL

Pada tahun 2020, Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (China) resmi mengeluarkan sebuah sistem yang dimana sistem ini ditujukan untuk mengatur “kehidupan bermasyarakat” Tiongkok. Sistem kredit sosial (social credit) telah menjadi polemik ditengah masyarakat Tiongkok sejak awal mula isu sistem ini keluar.

Dikutip dari wikipedia.org dan Medium, sistem kredit sosial merupakan sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok berupa sistem peringkat kredit nasional dan daftar hitam (blacklist) yang berfungsi untuk mengatur perilaku warganya. System ini bertujuan untuk membuat takaran kelayakan penduduknya, yang tidak hanya mendapatkan poin itu sendiri, tetapi juga seluruh aspek kehidupan bernegara yang mereka akan dapatkan. Dalam menakar kelayakan kehidupan warganya, pemerintah memasang ratusan juta kamera pengawas (CCTV) di berbagai sudut kota sebagai bukti penilaian. Nantinya, CCTV akan mengamati / mengawasi perilaku–perilaku individunya seperti ketepatan pembayaran pajak, interaksi kehidupan sosial, dan kebiasaan dalam menghabiskan uang hingga tindak kriminal yang dilakukan warganya. Berdasarkan perilaku ini, pemerintah akan menilai warganya dengan memberikan poin seperti yang ada di sekolah dasar.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ratusan kamera terpasang di berbagai sudut kota Tiongkok. Kamera–kamera ini terhubung kepada kepada sebuah sistem AI (Artificial Intelligence) yang mana akan menganalisis perilaku warga berdasarkan tindakan yang dilakukan di tempat umum. Semisal seseorang terlihat menghentikan taksi tidak pada tempatnya, AI akan membuat laporan atau menyimpan log video rekaman sebagai bukti kesalahan. Selain itu, AI juga menerima laporan dari warga apabila kerabat mereka mengganggu kehidupan mereka. Contoh, ketika kita tidak suka dengan seseorang, maka kita dapat melaporkan orang yang kita tidak suka dan mereka akan diberi sanksi berupa pengurangan poin.

Sistem ini juga terhubung ke berbagai database milik pemerintah dan perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah (marketplace, social media, bank) yang mana berisi data – data warganya agar dampak dari penambahan/pengurangan poin bisa terasa. Apabila poin/kredit sosial seseorang berada dalam level yang rendah, maka orang ini tidak dapat menggunakan fasilitas publik seperti dilarang menggunakan kereta cepat (MRT), pembatasan karir pekerjaan, hingga pengurangan bandwidth internet pada perangkat pribadi. Lebih buruk lagi, wajah kita akan dipublikasikan di berbagai tempat umum pada sebuah TV raksasa untuk memberikan efek jerah. Sebaliknya, apabila poin kita dalam level yang sangat tinggi, maka kita akan mendapatkan bantuan dari pemerintah secara gratis di berbagai fasilitas dan pelayanan publik, diskon tagihan listrik dan air, kemudahan dalam mencari pekerjaan, hingga bagi para pemilik skor kredit yang tinggi namun belum memiliki pasangan, pemerintah akan membantu mereka dalam mencari pasangan yang tentunya memiliki kredit yang tinggi juga. Sehingga pemerintah menjamin masyarakatnya akan memiliki pasangan yang terbaik.

Skor kredit yang dimiliki juga akan berdampak bagi teman, keluarga, maupun kerabat. Sehingga apabila kita berteman atau berkeluarga dengan orang yang memiliki social credit yang rendah, kita akan terkena imbasnya. Semisal seorang bapak atau ibu pernah mengkritik pemerintah, maka anaknya akan kesulitan dalam mengenyam pendidikan. Atau semisal, seseorang yang memiliki kredit sosial yang rendah lalu mereka mencari pasangan di aplikasi dating online, maka dia akan kesulitan dalam menemukan pasangan. Kriteria pemilihan pasangan tidak lagi dilihat dari fisik dan finansial, namun juga kredit sosialnya.

Implementasi sistem ini tentunya bukan tanpa dasar. Awalnya pemerintah melihat adanya krisis kepercayaan antar masyarakat yang mana mereka saat meminjam uang/berhutang, mereka tidak pernah mengembalikan tepat waktu, bahkan tidak mengembalikannya sama sekali. Akhirnya muncul istilah bagi orang-orang ini yaitu Lao Lai yang mana mulai banyak bertebaran dan menjadi perbincangan publik dan mengancam perekonomian. Selain itu, kebiasaan masyarakat di Tiongkok yang suka “mengotori” fasilitas publik juga menjadi polemik tersendiri. Contohnya seperti saat menggunakan toilet umum, masyarakat disana memiliki kebiasaan dimana “orang yang akan menggunakan selanjutnya, itu yang membersihkan (menyiram, red.)”. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa toilet disana sangat jauh dari kata bersih. Lebih lanjut menurut salah satu sumber saat mereka pergi kesana dan makan disebuah restoran, orang yang berada disampingnya meludah ke arah kaki mereka yang mana sangat tidak sopan. 

Karena banyaknya kasus ini ditambah kasus lain yang belum disebutkan, maka pada tahun 2014 pemerintah menggagaskan sistem social credit di China. Bahkan di hari pengumumannya, pemerintah langsung memulai 30 proyek percontohan yang tersebar di Tiongkok yang dimana dimulai dengan memasang CCTV di setiap sudut jalan hingga pada tahun 2020, terdapat lebih dari 270 juta CCTV yang sudah terpasang. Selain itu pemerintah juga membuat sebuah sistem kecerdasan buatan (AI) yang terhubung dengan CCTV yang telah dipasang dengan sistem pemindaian wajah dan juga terhubung ke data center milik pemerintah yang berisi data-data warganya yang disebut SkyNet. Sistem ini akan memantau aktivitas dan menerima laporan warga selama 24/7 dan hampir secara real-time akan memberikan sanksi dan menampilkan wajah kita di publik. Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dampak dari kesalahan maupun kebaikan yang dilakukan akan membawa masyarakat pada sanksi masing-masing.

Secara garis besar, dari adanya sistem ini membawa efek yang cukup berdampak bagi masyarakat. Selain masyarakat menjadi teratur dan disiplin, kasus pelanggaran juga menurun. Terbukti bahwa lebih dari 1400 orang telah ditangkap atas berbagai kasus kriminal diantaranya 28 orang yang masuk kedalam “blacklist” dan telah kabur di luar negeri, berhasil ditangkap lewat sistem ini. Dari hasil penangkapan ini juga, pemerintah berhasil mengembalikan kas negara sebesar sebesar ¥2.9 miliar. Menurut Dandan Fan, salah satu warga yang memiliki skor social credit yang tinggi mengatakan bahwa dirinya menyambut baik sistem ini. Dia tidak masalah ketika pemerintah memantau dirinya selama 24/7 karena dengan adanya sistem ini dirinya merasa aman. Hal ini juga berdampak besar bagi hidupnya dimana dirinya memiliki akses ke berbagai hak istimewa.

Namun, dengan adanya sistem ini juga, tidak sedikit masyarakat yang menolaknya. Karena menurut mereka, sistem ini mengacu kepada sebuah pembungkaman kebebasan berpendapat dan perbedaan. Contoh dalam perbedaan yaitu bagaimana pemerintah mencoba mengawasi muslim Uighur dalam bersosialisasi. Ketika ada warga yang dicurigai sebagai muslim Uighur datang dan menetap dan dalam kurun waktu kurang dari 20 hari ada muslim Uighur lain datang, maka alarm pada kantor polisi akan berbunyi agar ada petugas memeriksa rumah tersebut.

SkyNet dan Social Credit telah menjadi sebuah polemik bagi masyarakat Tiongkok sejak awal mula kemunculannya. Berbagai permasalahan telah diselesaikan, namun tidak sedikit juga masyarakat yang mengalami impact buruk dari kehadiran sistem ini. Sepatutnya kita bersyukur masih tinggal di negara yang masih bertanggung jawab dan saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan serta masih memiliki trust yang kuat dalam menjalin hubungan sosial.

\.. terima kasih sudah membaca 🙂 ..\

_

Penulis:

Achmad Zulfajri Syahruddin, S.ST., M.T., Dosen Sistem Informasi dan Teknologi

Share Berita:

Pengumuman:

Kalender Event:

Berita & Artikel: