Era industri 4.0 dengan dominasi teknologi digital membuat kita semua terpaksa atau sukarela menjadi pengguna teknologi digital. Rapat online, belajar online, belanja online dan semua yang memungkinkan menggunakan teknologi online sudah bukan hal yang aneh lagi di masa sekarang.
Tapi hati-hati, budaya digital bukan semata penggunaan teknologi digital. Budaya itu berawal dari tahu, paham, yakin, lakukan dan biasakan. Jadi budaya digital berawal juga dari pengetahuan dan pemahaman tentang teknologi digital.
Setelah pikiran terbuka bahwa teknologi adalah peluang kemajuan maka tumbuh keyakinan dengan menggunakan teknologi perusahaan akan semakin berkembang. Maka mulailah mencoba melakukan, membiasakan dan akhirnya jadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi budaya jika berhasil menciptakan values dalam kehidupan.
Budaya digital menurut Achmad Sugiarto dalam buku Synergy Way of Disruption mengemukakan tujuh ciri budaya digital yaitu digital-first mindset, agility and flexibility, costumer centricity, innovation, data-driven decision making, collaboration dan open culture.
Digital-First mindset membuat kita berfikir untuk mengadopsi solusi digital dalam pelayanan agar lebih cepat, mudah, murah dan tetap berkualitas. Hal ini tampak dengan munculnya berbagai aplikasi untuk customer di layanan perbankan serta layanan lain seperti Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak dan sebagainya.
Agility and flexibility membuat kita cepat dan dinamis dalam mengambil keputusan. Juga tampak dari kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan teknologi.
Penggunaan Sistem Informasi Manajemen serta Enterprise Reaource Planning sejenis Oracle, SAP, Microsoft dan lainnya dapat membantu manajemen melalui penyajian data yang akurat dan cepat. Melalui penyajian dalam dashboard khusus dan disertai data analytics maka manajemen dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.
Customer centricity menekankan penggunaan teknologi digital solution memberi pengalaman yang berkesan kepada pelanggan. Harapannya dapat menciptakan customer delight di mana pelanggan mendapatkan layanan yang melebihi ekspektasinya.
Budaya digital juga bercirikan tumbuhnya inovasi melalui perilaku yang mendukung keberanian mengambil resiko, berfikir out of the box untuk mengeksplorasi ide baru. Tentu itu semua didukung oleh data-driven decision making yaitu penggunaan data dan analisis masa depan (analytics) agar keputusan bisnis menjadi lebih baik.
Inovasi juga muncul jika ada kolaborasi dengan membuat tim lintas fungsi dan departemen. Hal ini bertujuan untuk memperluas perspektif dalam melihat masalah dan peluang. Juga dapat meningkatkan kompetensi tim dalam business acumen and enterpreunership.
Lebih jauh budaya inovasi juga bercirikan kemauan dan keberanian untuk membangun kemitraan dengan pihak luar (external networks). Bahkan kerja sama dengan perusahaan start-up yang masih kecil atau mengerjakan projek bersama dengan pihak lain. Di sinilah pentingnya budaya keterbukaan (open culture).
Semoga kita dapat mengambil manfaat dari era sekarang ini untuk membangun budaya digital. Kuncinya jangan merasa hebat tapi harus hebat merasa. Jangan merasa pintar tapi pintar merasa. Buka hati, pikiran dan perasaan untuk melihat perkembangan.
–
Penulis :
Syamril, S.T., M.Pd., Rektor Kalla Institute