Debu jalanan, asap knalpot, dan deru mesin adalah irama kehidupan yang tak pernah berhenti. Irama ini mengiringi denyut perjuangan rakyat kebanyakan, yang setiap hari berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah gemerlap kota. Tahun 2025 menjelang, namun bukan pesta pora yang menanti, melainkan kabar yang menyesakkan: perlambatan ekonomi, rupiah melemah, dan beban pajak yang semakin mencekik.
Mirisnya, kita seakan lupa sejarah kolonialisme yang menjadi latar belakang suram negeri ini, terus terperangkap dalam jebakan narasi “penjaga kekuasaan” yang mengalihkan pandangan dari akar masalah sistemik. Ilusi tentang “motivasi diri” dan “memperbaiki diri sendiri” difabrikasi di berbagai media, seolah kita hidup di ruang hampa tanpa pengaruh struktur yang tak adil. Di dunia yang telah terfabrikasi ini, seolah masalah kita hanya soal mindset, bukan struktur buruk dan kebijakan yang timpang. Kita diajari menyalahkan diri sendiri, berlomba menjadi yang paling “termotivasi”, melupakan bahwa nasib kita terikat pada sistem. Ibnu Taimiyah, ulama islam terkemuka ini mengingatkan dengan keras, “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir dan akan membinasakan negara yang zalim sekalipun beriman,” yang menekankan pentingnya memperjuangkan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kita harus berani membuka mata, menggugat sistem yang buruk, dan menolak ilusi “motivasi diri” sebagai solusi utama. Kita butuh perubahan struktural yang kita perjuangkan bersama. Ancaman kesulitan ekonomi di 2025 bukanlah masalah individual, melainkan masalah sistemik dari kebijakan pemerintah yang butuh solusi kolektif bernama solidaritas. Namun, karena kebijakan pemerintah tersebut cenderung sulit diubah, kita bisa mulai bersolidaritas dari lingkungan terdekat: rumah dan tempat kerja. Dengan meminjam pendekatan circle of influence dari Stephen R. Covey, kita dapat mulai dari hal-hal yang berada dalam kendali kita, guna menguatkan perubahan dan mencegah dampak buruk sistemik mempengaruhi kita.
Di rumah, solidaritas berarti membangun keluarga yang saling mendukung, bukan hanya dalam ekonomi, tetapi juga emosional dan spiritual. Kita harus merawat nilai-nilai kemanusiaan: empati, kasih sayang, dan gotong royong. Di rumah, kita berlatih menjadi manusia yang lebih baik, lalu menebar kebaikan pada dunia yang lebih luas.
Di tempat kerja, solidaritas berarti membangun komunitas kerja yang solid, di mana setiap orang merasa dihargai, dilindungi dan mendapatkan perlakuan adil. Di lingkungan kerja, kita belajar bekerja sama, saling mengisi-melengkapi, untuk berjuang bersama mencegah efek buruk dari kebijakan keliru pemerintah menimpa lingkungan kerja kita.
Lingkaran-lingkaran solidaritas ini, meski tampak kecil, memiliki kekuatan besar. Ia seperti akar pohon yang menghujam dalam ke tanah, menyerap nutrisi dan air yang akan menghidupi seluruh pohon “perjuangan untuk kehidupan baik” yang diperjuangkan bersama. Dengan menguatkan solidaritas di lingkungan terdekat, kita sedang membangun fondasi yang kuat bagi perubahan yang lebih besar dan berdampak positif luas. Akhirnya, Kita akan lebih siap menyambut 2025 bersama cobaan dan permasalahan structural yang berdatangan. Hanya dengan cara inilah, kita dapat terus berupaya untuk menghadirkan masa depan yang lebih baik untuk semua orang dan negara yang kita cintai. Sekali lagi, ayo bersolidaritas!
–
Penulis:
Dr. Habib Muhammad Shahib, S.E., M.Si., Ak, Ka LPPM