Fikih mandi junub
Mandi junub atau biasa dikenal dengan mandi wajib (al-ghusl al-wajib) ialah membersihkan keseluruhan badan, termasuk keseluruhan rambut, dengan air bersih dengan maksud untuk mengangkat kotoran besar (al- hadats al-akbar). Disebut mandi junub, karena sebelum mandi junub tidak bisa melakukan rangkaian ibadah- ibadah tertentu, seperti shalat, iktikaf, memegang mushaf, dan lain-lain.
Mandi fardhu dalam fikih Islam dilaksanakan ketika seseorang berada dalam keadaan berhadas besar, yakni selesai melakukan hubungan suami istri atau bermimpi basah, perempuan selesai menjalani haid, setelah bertobat lalu memeluk agama Islam, menjadi mayit, setiap hari Jumat bagi laki-laki (menurut mazhab Syafi’i), disunahkan pada saat menjelang melaksanakan shalat Idul Fitri tanggal 1 Syawal dan Idul Adha tanggal 10 Zulhijjah, setelah memandikan mayit, ketika hendak berihram untuk haji dan umrah, dan sebagian ulama menganjurkan ketika mereka akan melaksanakan shalat sunah gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari.
Ketentuan mandi fardhu adalah pertama kali harus berniat mandi junub atau mandi wajib, dan untuk mandi sunah berniat dengan mandi sunah; membersihkan segala kotoran fisik yang melekat di badan, mengalirkan air ke seluruh bagian-bagian luar tubuh, termasuk segenap rambut/buluh, membaca basmalah pada permulaan mandi, berwudhu setelah mandi, mendahulukan organ tubuh bagian kanan, disunahkan menggunakan air daun khatmi (althaea officinalis), sejenis daun yang bisa mengeluarkan busa ketika mencuci kepala, untuk sekarang disebut sampo. Ketika mencuci badan, Nabi suka menggunakan buah sidr (bidara), sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Qais bin Ashim, yang diminta Nabi menggunakan buah sidr ketika mandi setelah masuk Islam.
_
Penulis:
Abd. Halim, Office Boy Kalla Institute